Saturday, February 13, 2010

Ekonomi Amerika Hancur Kerana Ketamakannya Sendiri

Amerika akan membentuk lembaga yang akan mengambil alih tagihan macet sebesar 700 miliar dollar lembaga ini semacam Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang pernah dibuat oleh Indonesia dan bertugas untuk mengambil alih tagihan macet kredit properti di nagara adikuasa tersebut.

Ketamakan pelaku pasar keuangan telah memakan dirinya sendiri. Liberalisasi pasar keunanga tanpa rambu kehati-hatian taelah menelan banyak korban. Krisis keuangan global yang kita hadapi saat ini adalah krisis yang serius, bukan satu masalah yang bisa selesai dalam waktu tiga bulan. Pada waktu kita mengalami krisis ekonomi Asia pada tahun 1998, ekonomi dunia tidak terpengaruh. Namun kali ini yang sakit adalah mesin ekonomi dunia (AS) sehingga dampaknya mengelobal.

Tanpa kita sadari, gejolak ini sudah berlangsung lebih dari satu tahun, sejak juli 2007. Bermula dari timbulnya kredit macet di portofolio subprime mortage, kerugian sistim perbankan global per kuartal II-2008 sudah mencapai 500 miliar dollar AS.

Dampak dari krisis keuangan saat ini telah membuat ekonomi dunia kehilangan mesin pemberi kredit. Bank internasional, seperti Citigroup, UBS, Merril Lynch, dan Morgan Stanley, rugi puluhan miliar dollar AS sehinga pasti mereka tidak berminta menyalurkan kredit sebelum ada tambahan modal.

Pada awalnya ekonomi Asia dianggap tidak terkena dampak krisis di AS karena porsi ekspor negara-negara Asia ke AS semakin menurun dibandingkan satu dekade lalu. Namun, pada era globalisasi, gerakan ekonomi dunia bukan hanya di tentukan oleh sektor rill, tetapi sangan ditentukan oleh aliran modal di pasar keuangan.

Kerugian bank-bank internasional akibat krisis subprime mortage pada awalnya menimbulkan penurunan kurs dollar AS terhadap mata uang euro dan yen serta merontokan harga saham di AS. Jatuhnya Valuasi saham di AS selanjutnya memicu penurunan harga saham di seluruh dunia karena investor khwatir pelemahan ekonomi Amerika akan berdampak pada pelambatan ekonomi dunia.

Masalah makin rumit, penurunan harga saham di negara berkembang sering kali disertai pelarian modal ke instrumen yang dianggap kurang berisiko (misalnya surat utang negara maju atau emas). Akibtanya, kurs mata uang negara berkembang melemah dan bank sentral harus menaikan suku bunga.

Lari ke komoditas
Situasi tahun 2008 sangat kompleks. Demi menghindari resesi, bank sentral Amerika menurrunkan bunga secara drastis dari 5,25 persen ke 2,0 persen. Namun, di lain pihak, penurunan bunga dan penurunan kurs dollar AS membuat investor mencari kompensasi dengan membeli komoditas tambang dan pertanian. Akibatnya, harga komoditas melesat tajam, menimbulkan glombang inflasi.

Inflasi di Indonesia tahun ini diperkirakan 12-13 persen. Akibatnya, bank-bank sentral di negara berkembang harus menaikan suku bunga.

Treori penguatan harga komoditas tidak berlangsung lama. Pada akhirnya kita lihat bahwa melambatnya ekonomi dunia dan merendahnya ketegangan geopolitik di Iran dan Irak menurunkan harga komoditas tambang (termasuk minyak bumi) dan pertanian. Hasil akhirnya, kerugian bertambah besar.

Usaha penyelamatan dilakukan bertubi-tubi. Amerika telah menurunkan suku bunga secara drastis dan mengucurkan likuiditas ke prusahaan sekuritas. Bank JP Morgan diminta mengambil alih perusahaan sekuritas Bear Stearns. Bank of America mengambil alih Merrill Lynch. Pemerintah AS terpaksa harus menyelamatkan lembaga kredit perumahan Fannie Mae and Freddie Mac yang mempunyai kewajiban 5 triliun dollar AS!

Pemerintah AS juga menyuntik likuiditas 85 miliar dollar AS ke asuransi jiwa AIG. Namun, sebagai peringatan kepada para spekulan, pemerintah AS membiarkan Lehman Brothers bangkrut. Selanjutnya, bank sentral AS mengajak bank sentral Eropa dan Jepang mengucurkan likuiditas ke pasar uang. Tidak terpikir sebelumnya di benak kita bahwa AS dan Inggris sebagai pembela librealisasi pasar akhirnya minggu lalu melarang investor keuangan melakukan akasi spekulasi short selling.

Apa yang harus dilakukan msayarakat Indonesia? Tanpa mengurangi optimisme, kita harus selalu waspada. Fundamental ekonomi kita masih cukup baik, pertumbuhan ekonomi tahun ini masih bisa sedikit diatas 6 persen. Likuiditas rupiah harus tersediah, tetapi jangan berlebihan agar tak dipakai spekulasi membeli mata uang asing. Bisa dimengerti jika BI belum menurunkan suku bunga sampai yakin inflasi turun ke arah 7 persen agar kepercayaan investor asing pembeli surat utang negara tetap terjaga. Namun, perbankan sebaiknya tak menawarkan bunga deposito yang terlalu tinggi karena akan menimbulkan presepsi negatif.

Kinerja ekspor komoditas di perkirakan melambat sehinga perlu di imbangi dengan penurunan impor minyak bumi dan bahan baku lain. Rencana ekspansi korporasi yang berlebihan harus dipikirkan pendanaanya karena suku bunga kredit dari luar negeri belum akan tersedia sampai setahun ke depan.

Fundamental anggaran pemerintah cukup baik, definisi anggaran diperkirakan turun ke 1,7 persen PDB dari rencana semula 2,1 persen PDB. Maka, pemerintah di pusat dan daerah harus mengompensasi pelambatan ekonomi dengan mempercepat pembangunan anggaran, tentu saja tanpa menerjang rambu-rambu

No comments:

Post a Comment